Jumat, 11 Juli 2008

Kasus Lapindo

Lapindo dan Pidana Mutlak[1]

Ada hal yang menarik dari pemberitaan Kompas tanggal 16 November 2006 mengenai penjualan saham Lapindo Brantas Inc kepada Freehold Group. Salah seorang pejabat penghubung PT Energi Mega Persada, perseroan yang memiliki Kalila Energi Ltd dan Pan Asia Enterprise Ltd sebagai para pemilik seratus persen saham Lapindo Brantas Inc, menyatakan bahwa setelah penandatanganan perjanjian jual beli tersebut, semua aset dan kewajiban Lapindo Brantas per 14 November 2006 menjadi milik Freehold. Permasalahannya, apakah transaksi tersebut dapat mengalihkan tanggung jawab pidana yang sangat berpotensi untuk dituntut oleh korban lumpur Lapindo? Tulisan ini secara khusus mengulas tentang penerapan sistem tanggung jawab pidana mutlak (crime strict liability) bilamana korban mengajukan laporan pidana dan pengadilan memeriksa perkara tersebut.

Sebelum menguraikan permasalahan itu, perlu disampaikan bahwa Wakil Presiden dan Kepala BP Migas telah menyatakan sikap bahwa Lapindo sebagai kontraktor harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan tersebut. Seiring dengan itu, rencana pengalihan saham Lapindo disebutkan oleh Direktur Utama PT Medco Energi Tbk sebagai upaya pelepasan tanggung jawab (Koran Tempo, 8/9/2006) dan oleh karena itu perseroan tersebut telah mengajukan permohonan arbitrase terhadap Lapindo yang dianggap telah melanggar joint operation agreement tanggal 1 Mei 1992.

Di sisi lain, Aburizal Bakrie menegaskan bahwa pemindahan kepemilikan Lapindo tidak akan menghilangkan tanggung jawab dari pihak pembeli, dalam hal ini Freehold Group harus membiayai permasalahan Lapindo. Terlepas dari silang pendapat mengenai hal tersebut, berikut adalah uraian tentang sistem pertanggungjawaban yang berkaitan dengan tindak pidana perusakan lingkungan.

SENGAJA ATAU ALPA

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH) Pasal 41 Ayat (1) menyatakan, "barangsiapa yang melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak lima ratus juta rupiah". Selanjutnya, Pasal 42 Ayat (1) menyatakan, "barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak seratus juta rupiah". Dikaitkan dengan masalah ini, Lapindo, penyebab meluapnya lumpur yang menenggelamkan sejumlah desa, hanya dapat dipidana jika dapat dibuktikan bahwa Lapindo sengaja atau alpa dalam melakukan pengeboran. Artinya, jika perusakan lingkungan yang memakan korban telah terjadi, tetapi tidak dapat dibuktikan bahwa Lapindo sengaja atau alpa dalam melakukan pengeboran, maka perseroan tersebut tidak dapat dihukum.

Jika hal ini terjadi, tentunya rasa keadilan masyarakat, khususnya korban lumpur Lapindo, akan semakin terkoyak. Keadaan ini seharusnya tidak akan terjadi jika pengadilan bersedia menerapkan sistem tanggung jawab pidana mutlak.

TANGGUNG JAWAB PIDANA MUTLAK

Berbeda dengan sistem tanggung jawab pidana umum yang mengharuskan adanya kesengajaan atau kealpaan, dalam sistem tanggung jawab pidana mutlak hanya dibutuhkan pengetahuan dan perbuatan dari terdakwa. Artinya, dalam melakukan perbuatan tersebut si terdakwa mengetahui atau menyadari tentang potensi kerugian bagi pihak lain, maka keadaan ini cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana daripadanya. Jadi, tidak diperlukan adanya unsur sengaja atau alpa dari terdakwa, tetapi semata-mata perbuatan yang telah mengakibatkan pencemaran (Frances Russell dan Christine Locke, English Law and Language, Cassed, 1992). Konkretnya, tidak perlu dibuktikan apakah Lapindo memiliki unsur sengaja atau alpa, tetapi kegiatan pengeboran yang akhirnya menyebabkan luapan lumpur yang merusak lingkungan sudah cukup untuk memidanakan perseroan tersebut. Mengingat karakteristiknya tersebut, sistem tanggung jawab pidana mutlak hanya tepat untuk diterapkan pada kejahatan sosial, seperti pencemaran atau perusakan lingkungan, psikotropika, inflasi, korupsi, dan jenis kejahatan lain yang berdampak luas kepada masyarakat.

Penerapan tanggung jawab pidana mutlak dapat dilihat dalam kasus Alphacel Ltd versus Woodward. Pengadilan Inggris menyatakan terdakwa bersalah karena melanggar River Prevention of Pollution Act 1951. Terdakwa memasukkan tangki ke dalam sungai yang menyebabkan saluran air ke sungai tidak berfungsi karena tangki tersebut ditempatkan pada saluran yang mengganggu pompa yang berfungsi untuk mencegah banjir. Tangki tersebut membuat pompa tidak berfungsi karena dipenuhi tumbuh-tumbuhan dan banjir menyebabkan air tercemar.

Dalam kasus ini sebenarnya tidak ada bukti yang memberatkan terdakwa tentang kesengajaan atau kealpaan, tetapi pengadilan membuat pertimbangan bahwa seandainya setiap perkara pencemaran harus dibuktikan unsur kesengajaan atau kealpaannya, maka pihak-pihak yang diduga mencemar kemungkinan akan selalu bebas, walaupun pencemaran telah terjadi dan dengan demikian pencemaran akan terus berlanjut sehingga sungai-sungai akan semakin tercemar. Oleh karena itu, dengan melihat fakta bahwa pencemaran telah terjadi dan ada pihak yang terkait erat atau pihak yang diduga keras menyebabkan pencemaran tersebut, maka pihak tersebut layak untuk dipidana (JC Smith-Brian Hojan, Criminal Law, ELAS, Seventh Edition, 1992).

"LIVING INTERPRETATOR"

Bilamana laporan korban lumpur Lapindo diperiksa di pengadilan dan pengadilan menerapkan sistem pembuktian menurut UU PLH yang masih mensyaratkan unsur kesengajaan dan kealpaan, Lapindo memiliki peluang untuk lolos dari ancaman pidana walaupun kerusakan lingkungan telah terjadi dan korban sudah berjatuhan. Namun, jika pengadilan berani mengeluarkan putusan yang menjatuhkan hukuman pidana, dapat dipastikan bahwa hakim perkara tersebut telah terjun ke tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Artinya, hakim tersebut mampu menjadi living interpretator yang dapat menangkap semangat keadilan masyarakat dan tidak terbelenggu oleh kekakuan normatif prosedural dalam suatu peraturan perundang-undangan karena mereka menyadari bahwa hakim bukan lagi sekadar mulut atau corong undang-undang (la bouche de la loi).

A Ahsin Thohari dalam artikelnya yang berjudul "Law Enforcement" ke "Justice Enforcement" (Kompas, 3/7/2002), menguraikan bahwa hakim yang akan memutus suatu perkara di pengadilan harus mengombinasikan tiga hal secara simultan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum. Sehubungan dengan itu, jika hakim berani mengeluarkan putusan yang menjatuhkan hukuman pidana terhadap Lapindo, dapat dipastikan putusan itu mengandung kepastian hukum karena bisa dipastikan bahwa harus ada pihak yang dipidana karena telah terjadi kerusakan lingkungan yang menimbulkan korban. Selanjutnya putusan tersebut juga memiliki kemanfaatan hukum karena menjadi suatu preseden yang sangat berguna dalam penegakan hukum lingkungan. Di samping itu, putusan tersebut akan memenuhi unsur keadilan, khususnya keadilan masyarakat (social justice), karena hakim dalam perkara tersebut tidak hanya mempertimbangkan law enforcement, tetapi juga mempertimbangkan dan menegakkan justice enforcement. Not only what is lawful but what is proper or convenient, is to be considered; because nothing that is inconvenient is lawful. Sesuai dengan ungkapan itu, sekiranya hakim berani untuk tidak menerapkan sistem pembuktian sebagaimana diatur dalam UU PLH dan sebaliknya menerapkan sistem tanggung jawab pidana mutlak, maka keputusan yang dihasilkannya akan menjadi keputusan yang proper atau convenient di mata masyarakat kita yang sangat mendambakan keadilan.

Jauh sebelum itu, Aeschylus seorang dramatist Yunani yang hidup pada abad ke-6 sebelum Masehi, menyatakan bahwa wrong must not win by technicalities. Jika diaplikasikan dalam kasus ini, maka Lapindo yang merusak lingkungan Sidoarjo seharusnya tidak dibebaskan karena hal-hal atau kelemahan-kelemahan teknis yang terdapat dalam UU PLH ataupun karena adanya transaksi penjualan saham Lapindo kepada Freehold Group.

Analisa

Dari kasus diatas dapat dikatakan bahwa konsep yang digunakan penggugat adalah Konsep Strict liability atau liability without fault diatur dalam Pasal 35 UU Lingkungan Hidup. Konsep itu mungkin dipakai hanya dalam perkara yang menyebabkan dampak besar dan penting bagi lingkungan, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun (B3) dan atau yang menghasilkan B3. Di dalam penjelasan Pasal 35 memang tidak diuraikan lebih rinci mengenai apa itu dampak besar dan penting. Namun sebenarnya dapat dapat dilihat kriterianya di dalam Amdal (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan, red) dan keputusan menteri lainnya.

Penjelasan Pasal 15 UU Lingkungan Hidup 1997 sebenarnya sudah menguraikan parameter yang dipakai.

Penjelasan Pasal 15 UU LH:

Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan penting tersebut di antaranya digunakan kriteria mengenai:

a. besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau

kegiatan;

b. luas wilayah penyebaran dampak;

c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;

d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;

e. sifat kumulatif dampak;

f. berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.

Maka berdasarkan konsep Strict Liability atau liabiity wihtout fault unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Namun tergugat bisa saja membuktikan jika kemungkinan adanya bencana alam yang menyebabkan pencemaran itu terjadi. Jadi, Kasus Lapindo sangat mungkin digugat menggunakan konsep tanggung jawab mutlak atau strict liability. Berdasarkan konsep ini, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usahanya menimbulkan dampak besar bagi lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya atau beracun bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan. Konsekwensinya, perusahaan tadi membayar ganti rugi secara langsung dan seketika terjadinya pencemaran.



[1] http://kompas.com/kompas-cetak/0611/24/opini/3117909.htm, oleh Fredrik J Pinakunary Advokat pada Lubis, Santosa & Maulana Law Offices, Kompas 24 nov 2006

Tidak ada komentar: