Rabu, 02 Juli 2008

Hukum tentang PERJANJIAN PENGANGKUTAN

PERJANJIAN PENGANGKUTAN

Dalam definisi pengangkutan terkandung berbagai aspek pengangkutan sebagai berikut:

  1. pelaku
  2. alat pengangkutan
  3. barang/penumpang
  4. perbuatan
  5. fungsi pengangkutan
  6. tujuan pengangkutan

(halaman 19-20)

Definisi perjanjian pengangkutan

Purwosutjipto (1984): sebagai perjanjian timbal balik (1) dengan mana pengangkut mengikatkan untuk menyelenggarakan pengangkutan (2) barang dan atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan.

à definisi tersebut hanya meliputi perjanjian antara pengirim dan pengangkut saja, tidak termasuk perjanjian antara pengangkut dan penumpang.

Perbaikan rumusan definisi tersebut:

Perjanjian pengangkutan adalah persetujuan dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk (hal 20-21) menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau penumpang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, dan pengirim atau penumpang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan.

Dengan selamat, keadaaan tidak selamat mengandung 2 arti:

  1. pada pengangkutan barang, barangnya tak ada atau musnah, barangnya ada tetapi rusak sebagian atau seluruhnya disebabkan berbagai kemungkinan peristiwa;
  2. pada pengakutan penumpang, penumpang meninggal dunia atau menderita cacat tetap atau sementara, karena sesuatu peristiwa atau kejadian.

KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT

Menurut purwosutjipto (hal 21-22) sistem hukum indonesia tidak mensyaratkan pembuatan perjanjian pengangkutan itu secara tertulis, cukup dengan lisan saja, asal ada persetujuan kehendak atau konsensus.

Kewajiban dan hak pihak-pihak dapat diketahui dari penyelengaraan pengangkutan, atau berdasarkan dokumen pengangkutan yang diterbitkan dalam perjanjian tersebut.

Dokumen pengangkutan adalah setiap tulisan yang dipakai sebagai bukti dalam pengangkutan, berupa naskah, tanda terima, tanda penyerahan, tanda milik atau hak.

Konsep tanggung jawab timbul karena pengangkutan tidak terjadi sebagaimana mestinya atau pengangkut tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana termuat dalam dokumen pengangkutan.

Dalam perjanjian pengangkutan ada beberapa hal yang bukan tanggung jawab pengangkut. Artinya apabila timbul kerugian, pengangkut bebas dari pembayaran ganti kerugian. Beberapa hal itu adalah:

  1. Keadaan memaksa (overmacht)
  2. cacat pada barang atau penumpang itu sendiri
  3. kesalahan atau kelalaian pengirim atau penumpang itu sendiri.

Ketiga hal ini diakui dalam undang-undang maupun dalam doktrin ilmu hukum.

Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, pihak-pihak dapat membuat ketentuan yang membatasi tanggung jawab pihak-pihak. Dalam hal ini pengangkut dapat membatasi tanggung jawab berdasarkan kelayakan.

Apabila perjanjian dibuat secara tertulis, biasanya pembatasan dituliskan secara tegas dalam syarat-syarat atau klausula perjanjian.

Tetapi apabila perjanjian dibuat secara tidak tertulis maka kebiasaan yang berintikan kelayakan atau keadilan memegang peranan penting, disamping (hal 22-23) ketentuan undang-undang. Bagaimanapun pihak-pihak dilarang menghapus sama sekali tanggung jawab (pasal 470 ayat 1 KUHD, untuk pengangkut).

Luas tanggung jawab pengangkut ditentukan dalam pasal 1236 dan 1246 KUHPdt, menurut pasal 1236 pengangkut wajib membayar ganti kerugian atas biaya, kerugian yang diderita dan bunga yang layak diterima, bila ia tidak dapat menyerahkan atau tidak merawat sepatutnya untuk menyerahkan barang muatan.

ASAS PERJANJIAN PENGANGKUTAN

Ada empat asas pokok yang mendasari perjanjian pengangkutan:

  1. asas konsensual

asas ini tidak mensyaratkan bentuk perjanjian angkutan secara tertulis, sudah cukup apabila ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Dalam kenyataannya, hampir semua perjanjian pengangkutan darat, laut, dan udara dibuat secara tidak tertulis, tetapi selalu didukung dokumen pengangkutan.

Dokumen pengangkutan bukan perjanjian tertulis melainkan sebagai bukti bahwa persetujuan diantara pihak-pihak itu ada.

Alasan perjanjian pengangkutan tidak dibuat tertulis karena kewajiban dan hak pihak-pihak telah ditentukan dalam undang-undang. Mereka hanya menunjuk (hal 24) atau menerapkan ketentuan undang-undang.

  1. asas koordinasi

asas ini mensyaratkan kedudukan yang sejajar antara pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan.

Walaupun perjanjian pengangkutan merupakan ”pelayanan jasa”, asas subordinasi antara buruh dan majikan pada perjanjian perburuan tidak berlaku pada perjanjian pengangkutan.

  1. asas campuran

perjanjian pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian, yaitu pemberian kuasa dari pengirim kepada pengangkut, penyimpan barang dari pengirim kepada pengangkut, dan melakukan pekerjaan pengangkutan yang diberikan oleh pengirim kepada pengangkut.

Jika dalam perjanjian pengangkutan tidak diatur lain, maka diantara ketentuan ketiga jenis perjanjian itu dapat diberlakukan. Hal ini ada hubungannya dengan asas konsensual.

  1. asas tidak ada hak retensi

penggunaan hak retensi bertentangan dengan fungsi dan tujuan pengangkutan. Penggunaan hak retensi akan menyulitkan pengangkut sendiri, misalnya penyediaan tempat penyimpanan, biaya penyimpanan, penjagaan dan perawatan barang. (hal 24)

KEBIASAAN DALAM PENGANGKUTAN

Apabila dalam undang-undang tidak diatur mengenai kewajiban dan hak serta syarat syarat yang dikehendaki oleh pihak-pihak, atau walaupun diatur tetapi dirasakan kurang sesuai dengan kehendak pihak-pihak, maka pihak-pihak mengikuti kebiasaan yang berlaku dalam praktek pengangkutan.

(Hal 26) kebiasaan yang hidup dalam praktek pengangkutan adalah kebiasaan yang berderajat hukum keperdataan, yaitu berupa perilaku atau perbuatan yang memenuhi ciri-ciri berikut:

  1. tidak tertulis yang hidup dalam praktek pengangkutan;
  2. berisi kewajiban bagaimana seharusnya pihak-pihak berbuat;
  3. tidak bertentangan dengan undang-undang atau kepatutan
  4. diterima pihak-pihak karena adil dan logis;
  5. menuju kepada akibat hukum yang dikehendaki pihak-pihak;

beberapa kebiasaan yang berlaku dalam pengangkutan antara lain diuraikan sbb:

1. undang-undang tidak menentukan cara terjadinya perjanjian. Kebiasaan menentukan cara penawaran dan penerimaan, sehingga terjadi perjanjian.

2. undang-undang menentukan bahwa pengirim membuat surat muatan yang berisi antara lain rincian muatan. Kebiasaan menentukan jika tidak dibuat surat muatan, pemberitahuan pengirima atau nota pengiriman berfungsi sama dengan surat muatan.

3. (hal 27) undang undang menentukan bahwa setiap penumpang harus memiliki tiket penumpang, tetapi tidak menentukan berapa kali perjalanan. Kebiasaan menentukan bahwa tiket penumpang hanya berlaku untuk satu kali perjalanan yang telah ditentikan hari, tanggal dan jam keberangkatan.

4. undang-undang menganut asas bahwa penundaan keberangkatan harus dengan persetujuan kedua belah pihak. Kebiasaan menentukan bahwa waktu keberangkatan sewaktu-waktu dapat beruba tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

5. undang-undang menentukan bahwa biaya pengangkutan muatan dibayar oleh penerima setelhia menerima penyerahan muatan ke tempat tujuan. Kebiasaan yang berlaku ialah biaya pengangkutan dibayar lebih dahulu oleh pengirim.

6. undang undang tidak menentukn syarat jumlah ganti kerugian karena pembatalan perjanjian pengangkutan, kebiasaan menentukan bahwa pembatalan perjanjian pengangkutan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, penumpang dikenakan ganti kerugian 25-50 % dari harga tiket penumpang.

Tidak ada komentar: