Jumat, 08 Agustus 2008

Dominasi AS

Menhan Juwono Sudarsno menilai fair pertukaran tahanan Warga Negara Indonesia (WNI) di Guantanamo dengan anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM). Namun hal tersebut dibantah anggota Komisi I DPR Djoko Susilo yang menganggap Menhan tidak bijaksana.

"Ngawur itu! Nggak bisa itu! Kita tidak setuju. Itu tidak ada urusannya dengan itu. Saya kira Menhan tidak wisdomlah," ujar Djoko.

Djoko mengatakan itu usai diskusi bertajuk 'Presiden Baru Bicara Burma' di Kantor LBH Jakarta, Jl Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (8/8/2008).

Menurut politisi PAN ini, pelepasan anggota OPM dengan pertukaran WNI di Guantanamo merupakan dua hal yang berbeda. "Apa urusannya dengan WNI kita yang di Guantanamo? Ini masalah kedaulatan kita," kata Wakil Ketua FPAN ini.

Djoko memprotes keras usaha kongres Amerika Serikat yang mengirim surat kepada SBY untuk meminta membebaskan 2 anggota OPM. Presiden SBY diminta untuk menolak permintaan tersebut.

"Kita tolak itu. Itu merupakan campur tangan yang sangat kasar sekali terhadap kita. Kita harus merasa terhina dengan campur tangan yang terus menerus itu dan saya kira wajar kalau kita secara tegas menolak. Presiden tak perlu menghiraukan itu," tandas dia.


Sebelum ini juga AS sudah menjajaki hubungan dengan berbagai organisasi Islam di Indonesia saat ini.

Harus kita waspadai Indonesia akan dikuasai AS?
Ato jangan-jangan berbagai dinamika yang terjadi di Indonesia seperti demonstrasi, keributan yang banyak terjadi, penutupan gereja; semuanya direkaya oleh AS
Mari kita menyatukan bangsa kita dengan meningkatkan rasa nasionalisme apalagi sebentar lagi hari kemerdekaan RI

Jumat, 11 Juli 2008

Kasus Lapindo

Lapindo dan Pidana Mutlak[1]

Ada hal yang menarik dari pemberitaan Kompas tanggal 16 November 2006 mengenai penjualan saham Lapindo Brantas Inc kepada Freehold Group. Salah seorang pejabat penghubung PT Energi Mega Persada, perseroan yang memiliki Kalila Energi Ltd dan Pan Asia Enterprise Ltd sebagai para pemilik seratus persen saham Lapindo Brantas Inc, menyatakan bahwa setelah penandatanganan perjanjian jual beli tersebut, semua aset dan kewajiban Lapindo Brantas per 14 November 2006 menjadi milik Freehold. Permasalahannya, apakah transaksi tersebut dapat mengalihkan tanggung jawab pidana yang sangat berpotensi untuk dituntut oleh korban lumpur Lapindo? Tulisan ini secara khusus mengulas tentang penerapan sistem tanggung jawab pidana mutlak (crime strict liability) bilamana korban mengajukan laporan pidana dan pengadilan memeriksa perkara tersebut.

Sebelum menguraikan permasalahan itu, perlu disampaikan bahwa Wakil Presiden dan Kepala BP Migas telah menyatakan sikap bahwa Lapindo sebagai kontraktor harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan tersebut. Seiring dengan itu, rencana pengalihan saham Lapindo disebutkan oleh Direktur Utama PT Medco Energi Tbk sebagai upaya pelepasan tanggung jawab (Koran Tempo, 8/9/2006) dan oleh karena itu perseroan tersebut telah mengajukan permohonan arbitrase terhadap Lapindo yang dianggap telah melanggar joint operation agreement tanggal 1 Mei 1992.

Di sisi lain, Aburizal Bakrie menegaskan bahwa pemindahan kepemilikan Lapindo tidak akan menghilangkan tanggung jawab dari pihak pembeli, dalam hal ini Freehold Group harus membiayai permasalahan Lapindo. Terlepas dari silang pendapat mengenai hal tersebut, berikut adalah uraian tentang sistem pertanggungjawaban yang berkaitan dengan tindak pidana perusakan lingkungan.

SENGAJA ATAU ALPA

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH) Pasal 41 Ayat (1) menyatakan, "barangsiapa yang melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak lima ratus juta rupiah". Selanjutnya, Pasal 42 Ayat (1) menyatakan, "barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak seratus juta rupiah". Dikaitkan dengan masalah ini, Lapindo, penyebab meluapnya lumpur yang menenggelamkan sejumlah desa, hanya dapat dipidana jika dapat dibuktikan bahwa Lapindo sengaja atau alpa dalam melakukan pengeboran. Artinya, jika perusakan lingkungan yang memakan korban telah terjadi, tetapi tidak dapat dibuktikan bahwa Lapindo sengaja atau alpa dalam melakukan pengeboran, maka perseroan tersebut tidak dapat dihukum.

Jika hal ini terjadi, tentunya rasa keadilan masyarakat, khususnya korban lumpur Lapindo, akan semakin terkoyak. Keadaan ini seharusnya tidak akan terjadi jika pengadilan bersedia menerapkan sistem tanggung jawab pidana mutlak.

TANGGUNG JAWAB PIDANA MUTLAK

Berbeda dengan sistem tanggung jawab pidana umum yang mengharuskan adanya kesengajaan atau kealpaan, dalam sistem tanggung jawab pidana mutlak hanya dibutuhkan pengetahuan dan perbuatan dari terdakwa. Artinya, dalam melakukan perbuatan tersebut si terdakwa mengetahui atau menyadari tentang potensi kerugian bagi pihak lain, maka keadaan ini cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana daripadanya. Jadi, tidak diperlukan adanya unsur sengaja atau alpa dari terdakwa, tetapi semata-mata perbuatan yang telah mengakibatkan pencemaran (Frances Russell dan Christine Locke, English Law and Language, Cassed, 1992). Konkretnya, tidak perlu dibuktikan apakah Lapindo memiliki unsur sengaja atau alpa, tetapi kegiatan pengeboran yang akhirnya menyebabkan luapan lumpur yang merusak lingkungan sudah cukup untuk memidanakan perseroan tersebut. Mengingat karakteristiknya tersebut, sistem tanggung jawab pidana mutlak hanya tepat untuk diterapkan pada kejahatan sosial, seperti pencemaran atau perusakan lingkungan, psikotropika, inflasi, korupsi, dan jenis kejahatan lain yang berdampak luas kepada masyarakat.

Penerapan tanggung jawab pidana mutlak dapat dilihat dalam kasus Alphacel Ltd versus Woodward. Pengadilan Inggris menyatakan terdakwa bersalah karena melanggar River Prevention of Pollution Act 1951. Terdakwa memasukkan tangki ke dalam sungai yang menyebabkan saluran air ke sungai tidak berfungsi karena tangki tersebut ditempatkan pada saluran yang mengganggu pompa yang berfungsi untuk mencegah banjir. Tangki tersebut membuat pompa tidak berfungsi karena dipenuhi tumbuh-tumbuhan dan banjir menyebabkan air tercemar.

Dalam kasus ini sebenarnya tidak ada bukti yang memberatkan terdakwa tentang kesengajaan atau kealpaan, tetapi pengadilan membuat pertimbangan bahwa seandainya setiap perkara pencemaran harus dibuktikan unsur kesengajaan atau kealpaannya, maka pihak-pihak yang diduga mencemar kemungkinan akan selalu bebas, walaupun pencemaran telah terjadi dan dengan demikian pencemaran akan terus berlanjut sehingga sungai-sungai akan semakin tercemar. Oleh karena itu, dengan melihat fakta bahwa pencemaran telah terjadi dan ada pihak yang terkait erat atau pihak yang diduga keras menyebabkan pencemaran tersebut, maka pihak tersebut layak untuk dipidana (JC Smith-Brian Hojan, Criminal Law, ELAS, Seventh Edition, 1992).

"LIVING INTERPRETATOR"

Bilamana laporan korban lumpur Lapindo diperiksa di pengadilan dan pengadilan menerapkan sistem pembuktian menurut UU PLH yang masih mensyaratkan unsur kesengajaan dan kealpaan, Lapindo memiliki peluang untuk lolos dari ancaman pidana walaupun kerusakan lingkungan telah terjadi dan korban sudah berjatuhan. Namun, jika pengadilan berani mengeluarkan putusan yang menjatuhkan hukuman pidana, dapat dipastikan bahwa hakim perkara tersebut telah terjun ke tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Artinya, hakim tersebut mampu menjadi living interpretator yang dapat menangkap semangat keadilan masyarakat dan tidak terbelenggu oleh kekakuan normatif prosedural dalam suatu peraturan perundang-undangan karena mereka menyadari bahwa hakim bukan lagi sekadar mulut atau corong undang-undang (la bouche de la loi).

A Ahsin Thohari dalam artikelnya yang berjudul "Law Enforcement" ke "Justice Enforcement" (Kompas, 3/7/2002), menguraikan bahwa hakim yang akan memutus suatu perkara di pengadilan harus mengombinasikan tiga hal secara simultan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum. Sehubungan dengan itu, jika hakim berani mengeluarkan putusan yang menjatuhkan hukuman pidana terhadap Lapindo, dapat dipastikan putusan itu mengandung kepastian hukum karena bisa dipastikan bahwa harus ada pihak yang dipidana karena telah terjadi kerusakan lingkungan yang menimbulkan korban. Selanjutnya putusan tersebut juga memiliki kemanfaatan hukum karena menjadi suatu preseden yang sangat berguna dalam penegakan hukum lingkungan. Di samping itu, putusan tersebut akan memenuhi unsur keadilan, khususnya keadilan masyarakat (social justice), karena hakim dalam perkara tersebut tidak hanya mempertimbangkan law enforcement, tetapi juga mempertimbangkan dan menegakkan justice enforcement. Not only what is lawful but what is proper or convenient, is to be considered; because nothing that is inconvenient is lawful. Sesuai dengan ungkapan itu, sekiranya hakim berani untuk tidak menerapkan sistem pembuktian sebagaimana diatur dalam UU PLH dan sebaliknya menerapkan sistem tanggung jawab pidana mutlak, maka keputusan yang dihasilkannya akan menjadi keputusan yang proper atau convenient di mata masyarakat kita yang sangat mendambakan keadilan.

Jauh sebelum itu, Aeschylus seorang dramatist Yunani yang hidup pada abad ke-6 sebelum Masehi, menyatakan bahwa wrong must not win by technicalities. Jika diaplikasikan dalam kasus ini, maka Lapindo yang merusak lingkungan Sidoarjo seharusnya tidak dibebaskan karena hal-hal atau kelemahan-kelemahan teknis yang terdapat dalam UU PLH ataupun karena adanya transaksi penjualan saham Lapindo kepada Freehold Group.

Analisa

Dari kasus diatas dapat dikatakan bahwa konsep yang digunakan penggugat adalah Konsep Strict liability atau liability without fault diatur dalam Pasal 35 UU Lingkungan Hidup. Konsep itu mungkin dipakai hanya dalam perkara yang menyebabkan dampak besar dan penting bagi lingkungan, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun (B3) dan atau yang menghasilkan B3. Di dalam penjelasan Pasal 35 memang tidak diuraikan lebih rinci mengenai apa itu dampak besar dan penting. Namun sebenarnya dapat dapat dilihat kriterianya di dalam Amdal (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan, red) dan keputusan menteri lainnya.

Penjelasan Pasal 15 UU Lingkungan Hidup 1997 sebenarnya sudah menguraikan parameter yang dipakai.

Penjelasan Pasal 15 UU LH:

Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan penting tersebut di antaranya digunakan kriteria mengenai:

a. besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau

kegiatan;

b. luas wilayah penyebaran dampak;

c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;

d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;

e. sifat kumulatif dampak;

f. berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.

Maka berdasarkan konsep Strict Liability atau liabiity wihtout fault unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Namun tergugat bisa saja membuktikan jika kemungkinan adanya bencana alam yang menyebabkan pencemaran itu terjadi. Jadi, Kasus Lapindo sangat mungkin digugat menggunakan konsep tanggung jawab mutlak atau strict liability. Berdasarkan konsep ini, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usahanya menimbulkan dampak besar bagi lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya atau beracun bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan. Konsekwensinya, perusahaan tadi membayar ganti rugi secara langsung dan seketika terjadinya pencemaran.



[1] http://kompas.com/kompas-cetak/0611/24/opini/3117909.htm, oleh Fredrik J Pinakunary Advokat pada Lubis, Santosa & Maulana Law Offices, Kompas 24 nov 2006

LEMBAGA JAMINAN

Menurut KUHPerdata dalam Pasal 1131, jaminan adalah segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Jaminan ini sendiri berfungsi untuk memberikan keamanan bagi para kreditur.

Pada umumnya jenis-jenis lembaga jaminan sebagaimana dikenal dalam Tata Hukum Indonesia dapat digolong-golongkan menurut cara terjadinya, menurut sifatnya, menurut objeknya, menurut kewenangan menguasainya dan lain-lain sebagai berikut:

1. Jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang-undang dan jaminan yang lahir karena perjanjian.

Jaminan yang ditentukan oleh undang-undang adalah jaminan yang timbul karena undang-undang tanpa adanya perjanjian dari para pihak terlebih dahulu. Misalnya, adanya ketentuan undang-undang yang menyatakan bahwa semua harta benda debitur baik bergerak maupun tetap, baik benda yang sudah ada maupun yang masih akan ada menjadi jaminan bagi seluruh perutangannya.

Jaminan yang karena perjanjian sendiri timbul karena adanya perjanjian, lembaga ini sendiri meliputi hipotik, gadai, credietverband, fidusia, penanggungan (borgtocht), perjanjian garansi, perutangan tanggung menanggung, dan lain-lain.

2. Jaminan yang tergolong jaminan umum dan jaminan khusus.

Jaminan umum timbul dari Undang-Undang, tanpa adanya perjanjian terlebih dahulu, para kreditur konkuren semuanya secara bersama memperoleh jaminan umum yang diberikan oleh undang-undang.

Jaminan khusus timbul karena adanya perjanjian yang khusus diadakan antara kreditur dan debitur yang dapat berupa jaminan yang bersifat kebendaan ataupun jaminan yang bersifat perorangan.

3. Jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan yang bersifat perorangan.

Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu benda, yang mempunyai hubungan langsung dengan debitur, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikutinya (droit de suite), dan dapat diperalihkan (mis: hipotik, gadai, dan lain-lain).

Jaminan yang bersifat perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur seumumnya (contoh borgtocht).

4. Jaminan yang mempunyai obyek benda bergerak dan jaminan atas benda tak bergerak.

Jaminan atas benda bergerak ini sendiri dapat digunakan gadai atau fidusia dan jaminan atas benda tak bergerak dapat digunakan hipotik atau credietverband. Pembedaan ini nantinya akan mempengaruhi hal – hal tertentu yaitu, cara pembebanan/jaminan, cara penyerahan, dalam hal daluarsa, dan dalam hal bezit.

5. Jaminan yang menguasai bendanya dan jaminan tanpa menguasai bendanya. Lembaga jaminan dengan menguasai bendanya antara lain:

a. Plegde or pawn, pand.

Lembaga jaminan ini merupakan gadai yang digunakan untuk benda bergerak.

b. Lien, Retent,Recht, Droit de retention.

Lembaga jaminan ini berupa retensi yang merupakan hak untuk menguasai benda si berutang sampai hutang yang bertalian dengan benda tersebut harus dibayar lunas.

c. Mortgage with possession.

Lembaga jaminan ini semacam hipotik atas benda bergerak dengan menguasai bendanya.

d. Hire purcase, huurkoop.

Lembaga jaminan ini seperti beli sewa yang dikenal di Indonesia . Dalam perjanjian beli sewa ini, hak milik atas bendanya baru beralih jika harga barang telah dibayar lunas. Pada perjanjian beli sewa terdapat juga sifat memberi jaminan bagi kreditur.

e. Conditional Sale.

Conditional Sale ini merupakan perjanjian jual beli dengan syarat bahwa perpindahan hak atas bendanya baru terjadi setelah syarat terpenuhi.

f. Credit Sale, Koop op Afbetaling.

Lembaga jaminan ini merupakan jual beli dengan mencicil, dan hak kebendaannya beralih pada saat penyerahan meskipun harganya belum dibayar lunas.

Sedangkan lembaga jaminan tanpa menguasai bendanya antara lain:

g. Mortgage, hypotheek, hipotheque.

Lembaga ini tertuju pada benda tidak bergerak. Selain itu, hipotik atas tanah (real estate mortgage) juga banyak dilakukan atas kapal laut dan kapal terbang tanpa menguasai bendanya. Umumnya semua negara telah mengatur secara intensif di dalam perundang-undangan mengenai hipotik atas kapal laut antara lain ditemukan dalam Pasal 309 WvK dan lain-lain di samping BW/KUHPerdata.

h. Chattle Mortgage.

Lembaga ini terjadi atas benda bergerak. Yang umumnya terjadi pada kapal laut dan kapal terbang tanpa menguasai bendanya. Chattle Mortgage hampir mirip dengan Conditional Sale, tetapi jauh lebih menguntungkan karena :

- Dapat dipakai sebagai jaminan bagi penjualan baik secara kredit maupun kontan.

- Dapat digunakan untuk melindungi keuntungan baik yang telah ad maupun yang masih akan ada.

- Dapat digunakan terhadap benda yang telah ada maupun yang masih akan ada.

i. Fiduciary Transfer of Ownership, Security Transfer of Title, Transfer of Ownership.

Lembaga ini merupakan perpindahan hak milik atas kepercayaan yang dipakai sebagai jaminan hutang.

j. Leasing.

Leasing merupakan perjanjian sewa barang modal usaha tertentu dengan mengangsur untuk suatu jangka waktu tertentu dan jumlah angsuran tertentu.

Selain penggolongan lembaga jaminan yang telah diuraikan di atas dalam tata hukum Indonesia juga dikenal hak-hak yang bersifat memberikan jaminan. Sehingga karena adanya adanya hak-hak tersebut kreditur akan merasa terjamin dalam pemenuhan piutangnya. Hak-hak jaminan tersebut ada yang timbul dari dari undang-undang dan ada yang harus diperjanjikan terlebih dulu. Hak-hak yang timbul dari undang-undang adalah privilege dan retensi. Sedangkan hak-hak jamunan yang timbul dari perjanjian adalah perjanjian garansi perutangan tanggung-menanggung dan cessi sebagai jaminan.

Selasa, 08 Juli 2008

Definisi Titik Taut Primer dan Titik Taut Sekunder

Titik Taut Primer adalah unsur-unsur yang menunjukkan, bahwa suatu peristiwa termasuk

Hukum Perdata Internasional dan bukan suatu peristiwa intern nasional.

Titik Taut Sekunder adalah unsur-unsur yang menentukan hukum manakah yang harus berlaku bagi peristiwa Hukum Perdata Internasional.

Contoh Kasus:

1. Pernikahan Paramitha Rusady dan Nenad Bago.

Pernikahan ini dilangsungkan di Indonesia. Kedua pasangan ini adalah pemeluk agama Islam. Nenad Bago mempunyai kewarganegaraan Kroasia.

· Titik taut primer dalam pernikahan ini adalah kewarganegaraan dari Nenad Bago, dimana Nenad Bago adalah seorang warga negara Kroasia.

· Yang menjadi titik taut sekunder dalam pernikahan ini adalah tempat dilangsungkannya pernikahan, yaitu Indonesia. Sehingga yang dipakai adalah hukum perkawinanan yang berlaku di Indonesia.

2. Perceraian Ulfa Dwiyanti dan Klaas Pool Jr.

Perceraian ini diawali dengan diajukannya gugatan cerai oleh Ulfa Dwiyanti kepada suaminya Klaas Pool Jr yang berkewarganegaraan Jerman. Gugatan Ini diajukan dengan alasan karena tidak ada kecocokan lagi di antara mereka berdua yang juga disebabkan hubungan jarak jauh, dimana Klaas Pool Jr. bekerja di Jerman sedangkan Ulfa Dwiyanti tinggal di indonesia.

· Titik Taut Primer dalam kasus ini adalah kewarganegaraan dari Klaas Pool Jr. Klaas Pool Jr adalah seorang warga negara Jerman.

· Titik Taut Sekunder dari kasus ini adalah tempat diajukannya gugatan cerai. Gugatan cerai diajukan di Indonesia. Jerman menganut Lex Loci Selebritionis sehingga yang dipakai adalah hukum perdata Indonesia.

Iklan yang Mengandung Pernyataan yang Menyesatkan

Seiring dengan bertambahnya usaha yang ada, membuat para pelaku usaha untuk bersaing dan saling menunjukkan keunggulan dari produknya. Para pelaku usaha dalam menunjukkan keunggulan dari produknya, mereka mempromosikan barang tersebut. Salah satu jenis promosi adalah iklan. Fungsi iklan adalah sebagai alat dan sarana untuk memperkenalkan suatu produk, mempengaruhi persepsi dan mendorong konsumen untuk membeli suatu produk. Iklan sebagai alat promosi sangat membantu konsumen dalam mencukupi kebutuhannya, namun ternyata promosi atau iklan juga sering menimbulkan masalah bagi konsumen, bila informasi yang disampaikan melalui iklan ternyata tidak benar atau tidak sesuai dengan kenyataan bahkan menyesatkan dan merugikan para konsuman yang telah terlanjur membeli barang tersebut. Promosi barang dan jasa dapat dituangkan dalam berbagai media, misalnya media cetak, media televisi, media radio dan media lainnya. Iklan yang dituangkan dalam media cetak dapat dimuat dalam surat kabar, majalah, brosur maupun buklet. Iklan dapat juga melalui reklame, poster, spanduk, dan lain-lain. Kemajuan bidang manajemen promosi atau periklanan dan teknologi informasi sering dimanfatkan oleh produsen untuk mengecoh para konsumen. Tidak jarang terjadi kebohongan dalam periklanan yang salah satunya iklan/informasi terhadap barang dan jasa yang menyesatkan sehingga seringkali cenderung menuju kearah terjadinya penyalahgunaan fungsi iklan.

Atas dasar itulah pada tahun 1999 Presiden bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat membentuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan dibuatnya undang-undang ini diharapkan dapat melindungi hak-hak konsumen dari segala bentuk penyalahgunaan iklan oleh para pelaku usaha. Hal ini tentunya mendapatkan respon yang positif dari masyarakat, karena apabila ada kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha akan ditindak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 ini.

Akan tetapi dalam kenyataannya sering kita temui Iklan yang dibuat oleh para pelaku usaha tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Hal ini dilakukan agar konsumen memakai atau membeli produknya dan mendapatkan keuntungan dari hal tersebut. Hal ini bukan saja hanya menimbulkan kerugian materil maupun imateril bagi konsumen, akan tetapi juga menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha lainnya. Karena konsumen akan kehilangan kepercayaannya kepada pelaku usaha yang lain yang memiliki usaha di bidang yang sama.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur mengenai kewajiban para pelaku usaha tentang iklan yang mereka buat, yaitu terdapat dalam pasal:

1. pasal 7

Kewajiban pelaku usaha adalah :

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. pasal 8

(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.

3. Pasal 10

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:

a. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa.

Walaupun dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 199 tentang perlindungan konsumen telah mengatur mengenai perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh para pelaku usaha, akan tetapi hal tersebut tidak membuat para pelaku usaha takut akan kedua undang-undang itu. Misalnya XL-BEBAS membuat iklan dengan mengatakan bahwa:

1. Tarif XL-BEBAS Rp.10,00/detik ke operator manapun, dan

2. Tanpa syarat apapun.

Tapi dalam kenyataannya, masih ada beberapa syarat lagi untuk mendapatkan tarif Rp.10/detik tersebut, yaitu;

1. Harus ke sesama operator yakni PRO-XL

2. Apabila menelepon ke operator lain, tarif Rp.10 berlaku pada menit ketiga dan dua menit pertama dikenakan tarif biasa.

Dan sangat sering terjadi apabila suatu iklan jelas-jelas telah melanggar undang-undang, tapi tidak dituntut pidana. Hal ini menunjukkan bahwa penegakan tentang perlindungan hukum konsumen belum berjalan seperti yang diinginkan.

Rabu, 02 Juli 2008

Hukum tentang PERJANJIAN PENGANGKUTAN

PERJANJIAN PENGANGKUTAN

Dalam definisi pengangkutan terkandung berbagai aspek pengangkutan sebagai berikut:

  1. pelaku
  2. alat pengangkutan
  3. barang/penumpang
  4. perbuatan
  5. fungsi pengangkutan
  6. tujuan pengangkutan

(halaman 19-20)

Definisi perjanjian pengangkutan

Purwosutjipto (1984): sebagai perjanjian timbal balik (1) dengan mana pengangkut mengikatkan untuk menyelenggarakan pengangkutan (2) barang dan atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan.

à definisi tersebut hanya meliputi perjanjian antara pengirim dan pengangkut saja, tidak termasuk perjanjian antara pengangkut dan penumpang.

Perbaikan rumusan definisi tersebut:

Perjanjian pengangkutan adalah persetujuan dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk (hal 20-21) menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau penumpang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, dan pengirim atau penumpang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan.

Dengan selamat, keadaaan tidak selamat mengandung 2 arti:

  1. pada pengangkutan barang, barangnya tak ada atau musnah, barangnya ada tetapi rusak sebagian atau seluruhnya disebabkan berbagai kemungkinan peristiwa;
  2. pada pengakutan penumpang, penumpang meninggal dunia atau menderita cacat tetap atau sementara, karena sesuatu peristiwa atau kejadian.

KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT

Menurut purwosutjipto (hal 21-22) sistem hukum indonesia tidak mensyaratkan pembuatan perjanjian pengangkutan itu secara tertulis, cukup dengan lisan saja, asal ada persetujuan kehendak atau konsensus.

Kewajiban dan hak pihak-pihak dapat diketahui dari penyelengaraan pengangkutan, atau berdasarkan dokumen pengangkutan yang diterbitkan dalam perjanjian tersebut.

Dokumen pengangkutan adalah setiap tulisan yang dipakai sebagai bukti dalam pengangkutan, berupa naskah, tanda terima, tanda penyerahan, tanda milik atau hak.

Konsep tanggung jawab timbul karena pengangkutan tidak terjadi sebagaimana mestinya atau pengangkut tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana termuat dalam dokumen pengangkutan.

Dalam perjanjian pengangkutan ada beberapa hal yang bukan tanggung jawab pengangkut. Artinya apabila timbul kerugian, pengangkut bebas dari pembayaran ganti kerugian. Beberapa hal itu adalah:

  1. Keadaan memaksa (overmacht)
  2. cacat pada barang atau penumpang itu sendiri
  3. kesalahan atau kelalaian pengirim atau penumpang itu sendiri.

Ketiga hal ini diakui dalam undang-undang maupun dalam doktrin ilmu hukum.

Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, pihak-pihak dapat membuat ketentuan yang membatasi tanggung jawab pihak-pihak. Dalam hal ini pengangkut dapat membatasi tanggung jawab berdasarkan kelayakan.

Apabila perjanjian dibuat secara tertulis, biasanya pembatasan dituliskan secara tegas dalam syarat-syarat atau klausula perjanjian.

Tetapi apabila perjanjian dibuat secara tidak tertulis maka kebiasaan yang berintikan kelayakan atau keadilan memegang peranan penting, disamping (hal 22-23) ketentuan undang-undang. Bagaimanapun pihak-pihak dilarang menghapus sama sekali tanggung jawab (pasal 470 ayat 1 KUHD, untuk pengangkut).

Luas tanggung jawab pengangkut ditentukan dalam pasal 1236 dan 1246 KUHPdt, menurut pasal 1236 pengangkut wajib membayar ganti kerugian atas biaya, kerugian yang diderita dan bunga yang layak diterima, bila ia tidak dapat menyerahkan atau tidak merawat sepatutnya untuk menyerahkan barang muatan.

ASAS PERJANJIAN PENGANGKUTAN

Ada empat asas pokok yang mendasari perjanjian pengangkutan:

  1. asas konsensual

asas ini tidak mensyaratkan bentuk perjanjian angkutan secara tertulis, sudah cukup apabila ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Dalam kenyataannya, hampir semua perjanjian pengangkutan darat, laut, dan udara dibuat secara tidak tertulis, tetapi selalu didukung dokumen pengangkutan.

Dokumen pengangkutan bukan perjanjian tertulis melainkan sebagai bukti bahwa persetujuan diantara pihak-pihak itu ada.

Alasan perjanjian pengangkutan tidak dibuat tertulis karena kewajiban dan hak pihak-pihak telah ditentukan dalam undang-undang. Mereka hanya menunjuk (hal 24) atau menerapkan ketentuan undang-undang.

  1. asas koordinasi

asas ini mensyaratkan kedudukan yang sejajar antara pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan.

Walaupun perjanjian pengangkutan merupakan ”pelayanan jasa”, asas subordinasi antara buruh dan majikan pada perjanjian perburuan tidak berlaku pada perjanjian pengangkutan.

  1. asas campuran

perjanjian pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian, yaitu pemberian kuasa dari pengirim kepada pengangkut, penyimpan barang dari pengirim kepada pengangkut, dan melakukan pekerjaan pengangkutan yang diberikan oleh pengirim kepada pengangkut.

Jika dalam perjanjian pengangkutan tidak diatur lain, maka diantara ketentuan ketiga jenis perjanjian itu dapat diberlakukan. Hal ini ada hubungannya dengan asas konsensual.

  1. asas tidak ada hak retensi

penggunaan hak retensi bertentangan dengan fungsi dan tujuan pengangkutan. Penggunaan hak retensi akan menyulitkan pengangkut sendiri, misalnya penyediaan tempat penyimpanan, biaya penyimpanan, penjagaan dan perawatan barang. (hal 24)

KEBIASAAN DALAM PENGANGKUTAN

Apabila dalam undang-undang tidak diatur mengenai kewajiban dan hak serta syarat syarat yang dikehendaki oleh pihak-pihak, atau walaupun diatur tetapi dirasakan kurang sesuai dengan kehendak pihak-pihak, maka pihak-pihak mengikuti kebiasaan yang berlaku dalam praktek pengangkutan.

(Hal 26) kebiasaan yang hidup dalam praktek pengangkutan adalah kebiasaan yang berderajat hukum keperdataan, yaitu berupa perilaku atau perbuatan yang memenuhi ciri-ciri berikut:

  1. tidak tertulis yang hidup dalam praktek pengangkutan;
  2. berisi kewajiban bagaimana seharusnya pihak-pihak berbuat;
  3. tidak bertentangan dengan undang-undang atau kepatutan
  4. diterima pihak-pihak karena adil dan logis;
  5. menuju kepada akibat hukum yang dikehendaki pihak-pihak;

beberapa kebiasaan yang berlaku dalam pengangkutan antara lain diuraikan sbb:

1. undang-undang tidak menentukan cara terjadinya perjanjian. Kebiasaan menentukan cara penawaran dan penerimaan, sehingga terjadi perjanjian.

2. undang-undang menentukan bahwa pengirim membuat surat muatan yang berisi antara lain rincian muatan. Kebiasaan menentukan jika tidak dibuat surat muatan, pemberitahuan pengirima atau nota pengiriman berfungsi sama dengan surat muatan.

3. (hal 27) undang undang menentukan bahwa setiap penumpang harus memiliki tiket penumpang, tetapi tidak menentukan berapa kali perjalanan. Kebiasaan menentukan bahwa tiket penumpang hanya berlaku untuk satu kali perjalanan yang telah ditentikan hari, tanggal dan jam keberangkatan.

4. undang-undang menganut asas bahwa penundaan keberangkatan harus dengan persetujuan kedua belah pihak. Kebiasaan menentukan bahwa waktu keberangkatan sewaktu-waktu dapat beruba tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

5. undang-undang menentukan bahwa biaya pengangkutan muatan dibayar oleh penerima setelhia menerima penyerahan muatan ke tempat tujuan. Kebiasaan yang berlaku ialah biaya pengangkutan dibayar lebih dahulu oleh pengirim.

6. undang undang tidak menentukn syarat jumlah ganti kerugian karena pembatalan perjanjian pengangkutan, kebiasaan menentukan bahwa pembatalan perjanjian pengangkutan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, penumpang dikenakan ganti kerugian 25-50 % dari harga tiket penumpang.

Selasa, 01 Juli 2008

Dilematis

Sekelompok anak kecil sedang bermain
di dekat dua jalur kereta api. Jalur
yang pertama adalah jalur aktif (masih
sering dilewati KA), sementara jalur
kedua sudah tidak aktif. Hanya seorang
anak yang bermain di jalur yang tidak
aktif (tidak pernah lagi dilewati KA),
sementara lainnya bermain di jalur KA
yang masih aktif.

Tiba-tiba terlihat ada kereta api yang
mendekat dengan kecepatan tinggi.
Kebetulan Anda berada di depan panel
persimpangan yang mengatur arah KA
tersebut. Apakah Anda akan memindahkan
arah KA tersebut ke jalur yang sudah
tidak aktif dan menyelamatkan sebagian
besar anak kecil yang sedang bermain.
Namun hal ini berarti Anda
mengorbankan seorang anak yang sedang
bermain di jalur KA yang tidak aktif.
Atau Anda akan membiarkan kereta
tersebut tetap berada di jalur yang
seharusnya?

Mari berhenti sejenak dan berpikir
keputusan apa yang sebaiknya kita
ambil.

Sebagian besar orang akan memilih
untuk memindahkan arah kereta dan
hanya mengorbankan jiwa seorang anak.
Anda mungkin memiliki pilihan yang
sama karena dengan menyelamatkan
sebagian besar anak dan hanya
kehilangan seorang anak adalah sebuah
keputusan yang rasional dan dapat
disyahkan baik secara moral maupun
emosional.

Namun sadarkah Anda bahwa anak yang
memilih untuk bermain di jalur KA yang
sudah tidak aktif, berada di pihak
yang benar karena telah memilih untuk
bermain di tempat yang aman? Di
samping itu, dia harus dikorbankan
justru karena kecerobohan teman-
temannya yang bermain di tempat
berbahaya.

Dilema semacam ini terjadi di sekitar
kita setiap hari. Di kantor, di
masyarakat, di dunia politik dan
terutama dalam kehidupan demokrasi,
pihak minoritas harus dikorbankan demi
kepentingan mayoritas. Tidak peduli
betapa bodoh dan cerobohnya pihak
mayoritas tersebut. Nyawa seorang anak
yang memilih untuk tidak bermain
bersama teman-temannya di jalur KA
yang berbahaya telah dikesampingkan.
Dan bahkan mungkin tidak kita tidak
akan menyesalkan kejadian tersebut.

Seorang teman berpendapat bahwa dia
tidak akan mengubah arah laju kereta
karena dia percaya anak-anak yang
bermain di jalur KA yang masih aktif
sangat sadar bahwa jalur tersebut
masih aktif. Akibatnya mereka akan
segera lari ketika mendengar suara
kereta mendekat. Jika arah laju kereta
diubah ke jalur yang tidak aktif maka
seorang anak yang sedang bermain di
jalur tersebut pasti akan tewas karena
dia tidak pernah berpikir bahwa kereta
akan menuju jalur tersebut. Di samping
itu, alasan sebuah jalur KA
dinonaktifkan kemungkinan karena jalur
tersebut sudah tidak aman. Bila arah
laju kereta diubah ke jalur yang tidak
aktif maka kita telah membahayakan
nyawa seluruh penumpang di dalam
kereta. Dan mungkin langkah yang telah
ditempuh untuk menyelamatkan
sekumpulan anak

dengan mengorbankan seorang anak, akan
mengorbankan lagi ratusan nyawa
penumpang di kereta tersebut.

Kita harus sadar bahwa HIDUP penuh
dengan keputusan sulit yang harus
dibuat. Dan mungkin kita tidak akan
menyadari bahwa sebuah keputusan yang
cepat tidak selalu menjadi keputusan
yang benar.


God Bless U

SKB 1969

Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negri (Mendagri) dan Menteri Agama (Menag) RI No 01111/1969 berisi tentang pelaksanaan tugas aparatur pemerintahan dalam menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pengembangan dan ibadah agama oleh para pemeluknya. SKB ini ditandatangi oleh Amir Machmud dan KH Moh Dahlan pada tanggal 13 September 1969. Problem hubungan dan konflik antaragama senantiasa dikaitkan dengan SKB ini.
Pembicaraan mengenai SKB 1969 ini selalu muncul dalam pertemuan antaragama, bukan hanya dalam Persatuan Gereja Indonesai (PGI) dan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI). Dalam pertemuan rutin Majelis Ulama Indonesia (MUI), senantiasa dihangatkan dengan pembicaraan mengenai kristenisasi. Umat Hindu dan Buddha juga tidak terlepas dari perbicangan tentang SKB Mendagri dan Menag RI 1969. Dalam suasana demokrasi tentunya Presiden SBY sudah saatnya meninjau SKB tersebut lebih dalam lagi.
Dalam perhelatannya ada dua misi besar yang saling bertabrakan; antara Misi Islam dan Misi Kristen. Misi Islam dalam hal ini adalah penyerahan diri yang total pada satu-satunya Tuhan yang benar, Sang Pencipta, San Pemelihara, dan Penguasa Tertinggi atas seluruh dunia. Oleh karena itu, umat Muslim menerima tugas misi yang mulia yaitu membawa seluruh dunia pada penguasa tertingginya dan membebaskan dunia dari peribadatan terhadap Tuhan yang salah (menurut Al-Qur’an). Penyebaran Islam di seluruh dunia adalah sebuah tugas spiritual yang harus dilakukan oleh seluruh umat muslim sejati dengan mengikuti teladan sang Nabi yang merupakan rahmat bagi seluruh umat manusia. Karena Islam juga pelayanan, maka perlu memperhatikan orang sekitarnya sesuai dengan titah Nabi SAW "Seseorang bukanlah orang yang beriman jika ia makan sekenyang-kenyangnya sementara ada tetangganya di sampinynya yang sedang tergeletak kelaparan"
Misi Kristen mengalir keluar dari pengalaman kasih yang menebus. Inti misi ini adalah kasih. Gereja merupakan komunitas iman yang melanjutkan pelajaran Allah yang telah Yesus awali.
1. Gereja melaksanakan misinya melalui persekutuan (1 Kor 13)
2. Gereja melaksanakan misinya melalui pelayanan
3. Gereja melaksanakan misinya dengan memberitakan Injil di seluruh dunia. (Mat 28:19-20)
Tapi banyak orang yang tidak mengeti arti Gereja, satu hal yang aku pahami Gereja bukanlah gedung.
Semoga bermanfaat

Kontroversi kenaikan BBM


Melihat kenaikan harga standard dunia yang memang sudah lama direncanakan OPEC; sejak tahun 2005; yang ditujukan untuk mengurangi penggunaan BBM sehingga tidak habis pada waktu tertentu; sudah selayaknya memang jika Indonesia menaikkan harga BBM. Tidak bisa dipungkuri keputusan OPEC tersebut mempengaruhi harga BBM di Indonesia.

Terlepas kenaikan BBM ada pengaruh dari intervensi Amerika Serikat (masih dugaan politisi tertentu), ataupun janji Presiden SBY untuk tidak menaikkan BBM; kenikan BBM ini harus menyandang ‘kontroversi’. Hal ini karena keputusan kenikan BBM tahun ini tidak memandang filosofi kerakyatan; sampai batas mana kemampuan ekonomi masyarakat. Selain itu, kenaikan BBM ini tidak dibarengi dengan pembangunan infrastruktur ekonomi yang mendukung sehingga masyarakat betul-betul berada di garis batas antara hidup sewajarnya dan hidup dalam penyiksaan

Senin, 09 Juni 2008

SKB 3 tentang Ahmadiyah

Isi lengkap SKB 3 Menteri

Berikut isi lengkap SKB 3 Menteri berkenaan dengan Ahmadiyah

1. Memberi peringatan dan memerintahkan untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 2005 tentang pencegahan penodaan agama.

2. Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam pada umumnya, seperti pengakuan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.

3. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenai sanksi seusai peraturan perundangan.

4. Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI.

5. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tisak mengindahkan peringatan dan perintah dapai dikenai sanksi sesuai perundangan yang berlaku.

6. Memerintahan setiap pemerintah daerah agar melakukan pembinaan terhadap keputusan ini.

Minggu, 08 Juni 2008

Pelajaran Besar Bagi Pelayanan

1. Inti biblikal bagi pelayanan global adalah konsep Perjanjian yang dilambangkan dan direfleksikan dengan Amsal 5:18 dan Pengkotbah 9:9. Inti dari perjanjian tersebut adalah mengingatkan pada peristiwa Paskah dalam Perjanjian Lama dan perjamuan terakhir dalam Perjanjian Baru.
2. Maleakhi dan Nehemia tentang pelarangan perceraian
3. Kesaksian yang memuliakan nama Tuhan